Verona nampak merona malam ini. Lampu-lampu di
alun-alun kota menyala indah bersinergi dengan bintang-bintang indah dilangit
yang cerah. Beruntung sekali Mia datang saat awal musim panas yang indah dan
hangat, serta sangat cocok dengan Verona, kota kesukaannya. Awalnya dia
berpikir sebaiknya dia datang saat musim semi, tapi dia berubah pikiran ketika
melihat Verona begitu merona dibawah sinar matahari saat pertama kali
menginjakkan kaki di bandara Villafranca. Semua orang yang pernah ke eropa ia
tanyai, dan mereka menjawab kalau Eropa sangat indah di musim semi. Dan awalnya
itu membuatnya sedih karena tidak bisa mendapatkan tiket dan libur saat musim
semi. Lalu satu jam sebelum dia mengurus visanya, ia berkata pada dirinya
sendiri bahwa ini kesempatan sekali seumur hidup. Ia akhirnya tahu, apapun
musimnya, sekarang ia di Verona, kotanya.
Ia
sedang duduk disalah satu kafe yang terletak di Piazza Erbe, alun-alun kota, dia
duduk diluar di ujung, dan yang paling jauh dari keramaian orang bercakap-cakap
dengan bahasa Italia. Ia tidak bisa mengaku kalau dia sedang jetlag, ia meyakinkan
dirinya sendiri hanya butuh secangkir kopi dan pemandangan Verona yang
menakjubkan untuk menyegarkan mata. Penerbangan dari Jakarta ke Verona sekitar
16 jam 23 menit, tapi itu bukan apa-apa, ia terbiasa tidak tidur semalaman. Jadi,
disinilah dia, duduk di kafe kota kesayangannya sambil setengah
menguap-setengah tersenyum takjub.
Ah,
semuanya hanya kenaifannya. Sebenarnya dia tidak benar-benar berniat untuk
menunggu lama disini, ya dia sedang menunggu. Dia memang cinta pada Verona
waktu malam, namun alasan yang dia sebut diatas semua tidak cukup menahan
matanya untuk terbuka. Dia sedang terpaksa menunggu seseorang. Apalagi sekarang
sudah melebih tengah malam di Verona, dia janji dijemput jam 10, ini sudah
lebih dari 2 jam dia menunggu. Dia membayangkan, apakah dia boleh terlelap
disini sebentar. Apakah aman kalau dia terlelap sebentar. Tapi, dia rasa
tidaklah bijaksana seorang gadis asing tertidur di sebuah kafe di kota yang
asing saat lewat tengah malam. Sehingga, dia menghibur dirinya sendiri dengan
terus mengatakan bahwa bintang, musim panas, dan Verona sangat cocok.
Dia
sudah mengirim email pada temannya, teman yang bersedia menampungnya di Verona.
Ia berkata bahwa ia akan menunggu di sebuah kafe bernama Juliette’s, sebuah nama
yang paling gampang diingat dan paling menarik perhatiannya. Ia berkata carilah
seorang gadis dengan tas ransel berwarna merah dan kaos berwarna krem, kemudian
dia menambahkan kalau seharusnya temannya itu masih ingat dengan wajahnya dan
tentunya ia akan sangat mudah dicari karena mungkin hanya dia gadis asia yang ada
disana.
Sekarang
dia tidak bisa menelpon temannya karena baterai ponselnya ludes karena
digunakan untuk memutar music selama sekitar satu jam setengah non-stop. Mia
suka memilih soundtrack untuk sebuah momen, dan dia sering membayangkan
duduk-duduk di Piazza Erbe dengan mendengarkan beberapa lagu kesukaannya. Dan sekarang
dia menyesal telah mewujudkan bayangannya sekarang.
Kopinya
telah diisi ulang sebanyak 4 kali. Pelayan yang melayaninya hanya bisa sedikit
berbahasa Inggris, jadi sejelas mungkin ia mengatakan maksudnya untuk
berlama-lama disini. Pelayannya seorang lelaki paruh baya yang punya senyum
ramah, kini mendatanginya lagi. Dilihatnya laki-laki itu berjalan mendekat. Mia
menegakkan punggungnya, bersiap untuk memberikan penjelasan lagi.
“I
am really sorry, I…”
“No no no,” lelaki itu memotong
kata-katanya. “I think your friend is here. Right there, man with a blue shirt,
he said he was looking for a friend. Asian girl, short, big dark eyes, and big
red backpack; and ah, he’s heading here.”
Mia memandang laki-laki yang sedang
mendekati tempat duduknya. Ia asing dengan laki-laki ini. Laki-laki ini, sudah
jelas ia orang asia, tapi ia rasa ia tidak kenal. Tapi, laki-laki itu
mencarinya. Ia mengerutkan kening saat melihat laki-laki itu berhenti didepan
mejanya. Tersenyum dan mengucapkan beberapa kalimat pada sang pelayan dengan
bahasa Itali.
“Well, I found you, Mia.” katanya saat
berpaling menatap wajah kelelahan Mia.
*
Ia terbangun tak lebih dari pukul 4
di Verona. Ia hanya bisa tidur 2 jam. Jamnya, yang masih diset waktu Jakarta,
menunjukkan pukul 9 disana. Jam saat dia sudah harus memanaskan motor bebeknya
untuk ke kampus. Jadi dia hanya bisa memandangi sekali lagi Verona yang cantik
pada malam hari diatas balkon flat temannya.
Berbicara tentang tadi, temannya,
atau mulai sekarang mari kita panggil dia Claire, ternyata tidak bisa
menjemputnya. Ia sedang ada pertemuan keluarga mendadak membahas pernikahan
kakaknya; dan ia tidak bisa menghubungi Mia karena ponselnya mati, terima kasih
untuk ketidakbijaksanaannya.
Sebagai gantinya, Claire mengirim
salah satu teman flatnya. Laki-laki asia yang menemukannya di Juliette’s, atau
panggil dia Adam, untuk mencarinya di seluruh kafe di Piazza Erbe, bukan suatu
yang mudah saat hari sudah gelap walaupun penerangan bulan dan lampu tak
hentinya meminjamkan cahayanya.
Adam bilang, ia mencari Mia di The
House of Juliette. Ia kira Juliette’s adalah The House of Juliette yang tak
jauh dari Piazza Erbe.
Di jalan menuju flat Claire di
daerah Marcello, sebuah jalan ditepi sungai Fiume, dia terus terkantuk. Sampai-sampai
Adam berkata bahwa Mia mungkin butuh tidur seharian. Tapi nyatanya, dia tidak
bisa tidur sama sekali saat sampai di flat Claire. Tadi Claire menyambutnya
dengan tangis bahagia, entah kenapa, dia berkata takut kalau Mia tersesat dan
tak ada orang yang mau membantu Mia dan ia akan sangat bersalah tentang itu.
Mia hanya tersenyum dan berkata bahwa ia bukan turis bodoh yang mau
berkeliling-liling kota tanpa peta. Claire mengucapkan terima kasih pada Adam,
berjanji mentraktirnya Risoto di restaurant favorit mereka.
Flat Claire berada di
lorong-lorong sempit Verona. Claire bercerita bahwa sangat sulit mencari flat
yang murah disini, dan dia sangat beruntung mendapat flat dengan sang pemilik
yang ramah yang suka sekali berbagi roti buatannya. Tepat dibawah flat sewaan Claire,
sang pemilik flat membuka sebuah toko roti kecil bernama Pane. Mia membayangkan
betapa harum roti dari toko itu menyebar di sepanjang lorong.
Lorong-lorong sempit di Verona diapit
oleh bangunan-bangunan yang dibangun dengan batu bata tua yang masih kokoh
sampai sekarang, mereka memiliiki kekuata yang magis untuk Mia. Dinding-dinding
bangunan ini memberikan kesan eropa lama, eropa pada zaman kejayaannya, eropa
dengan Shakespeare dan Ovid-nya. Dan sekarang ia memandanginya dengan takjub. Lampu-lampu
jingga berpendar disepanjang jalan, menerangi pojok jalan, menambah kesan
magis. Di ujung jalan ia meihat seorang laki-laki berjalan tergesa-gesa, ponsel
menempel ditelinganya. Saat laki-laki itu berjala tepat dibawah balkonnya,
laki-laki itu mendongak, Mia melempar senyum namun tak dibalas dan ia berlalu
dengan cepat hingga berbelok ke ujung jalan lain.
Sekarang Claire masih tertidur di
kamarnya dan ia tidak punya hal lain untuk dilakukan. Ia memutuskan untuk menunggu cahaya
pertama untuk keluar menelusuri jalan.