Kehilangan seorang
sahabat itu seperti menghirup udara yang berbeda dari sebelumnya. Apalagi
sahabat yang setiap hari menemanimu melangkah, bahkan menuju toilet sekalipun.
Tidak kita sadari, kehadiran sahabat juga merupakan titik dimana kita harus
bisa menata diri dan perasaan. Sahabatlah yang ada ketika kamu butuh teman
berbicara dan teman untuk dipukul ketika sedih.
Setiap hari kita
menghirup udara yang sama. Sudah terasa akrab dan hangat. Terasa seperti rumah.
Karena seorang sahabatlah kita bisa berbagi dunia kecil kita, dunia singkat
kita, dan membaginya, meskipun itu susah dan senang.
Kita tidak pernah
mengatakan sahabat satu sama lain. Tapi, secara otomatis dalam diri kita,
terutama diriku, sudah terikat dengan memori tentang kita. Meskipun saat disinggung
masalah sahabat, kita akn kikuk. Kita masih malu untuk mengatakan sahabat pada
satu sama lain. Membohongi hati.
Aku kira kita bisa
duduk sebangku untuk tiga tahun ini. Ujian nasional bersama, menyontek bersama,
bercanda, dan merahan. Serta lulus bersama.
Pada dasarnya aku
hanya takut. Jika tidak ada kamu, aku bagaikan cangkang kosong. Tidak ada yang
mampu menopong diriku, bahkan diriku sendiri. Kamu yang selalu menguatkanku.
Memintaku untuk maju dan terus berbaur.
Banyak hal yang aku
sadari telah banyak menyakitimu, bahkan aku belum mengucapkan maaf sama sekali.
Banyak hal yang belum kita lakukan bersama. Banyak hal yang aku sesali kini.
Banyak sekali.
Waktu terkadang sangat
lancang. Membiarkan kita berpisah tanpa peringatan, tanpa aba-aba. Namun aku
bersyukur, terakhir kali kita bercakap, aku mampu memberikan sedikit rahasia
besarku padamu. Karena aku memang sangat ingin berbagi denganmu. Sangat ingin.
Bahkan film-film yang
rencananya aku ingin bagi denganmu, masih teronggok rapi difolder laptop
jelekku. Banyak cerita yang sebenarnya aku pendam untuk kubagi denganmu ketika
aku siap. Namun, seperti yang aku torehkan tadi, waktu hanya memberikan sedikit
kesempatan bagi kita.
Kini, kamu tahu, aku
selalu berangkat pagi, menunggu siapa pun yang mau duduk disampingku,
menggantikanmu. Terkadang aku sedikit sedih, hari terakhir aku melihatmu, kita
tidak sebangku. Aku sangat sedih, ketika bel berbunyi kamu tak kunjung memasuki
pintu dan nyengir kuda terhadapku. Aku sangat sedih ketika semua guru mengira
ada yang tidak masuk karena bangku tersisa satu. Aku selalu berusaha
menempatkan dirimu dibangku itu dengan imajinasiku. Apa aku sanggup bertahan di
kelas tiga tanpa teman sepertimu?
Aku sebenarnya orang
yang terbuka. Hanya saja orang mungkin berpikiran aku ini aneh. Tidak banyak
orang yang bisa ‘klik’ denganku. Tentunya kamu tahu. karena kamu mengerti diriku. Aku bukan orang yang suka berteman dengan orang banyak. Mungkin aku
hanya butuh satu teman saja yang mampu selalu hadir saat aku butuh. Satu saja,
cukup untuk meyakinkanku kalau masih ada orang yang peduli padaku.
Jujur aku benar-benar
takut. Aku takut jatuh dan susah bangkit. Aku hanya gadis biasa yang terbiasa
duduk sendiri sekarang, ditemani lagu dan novel pinjaman. Terkadang tersenyum
sedih mengingat bangku kosong tepat didepanku. Kemudian tersenyum karena
lelucon teman sekelas yang terdengar absurd. Sumpah, ketika saat-saat seperti
itu, barulah aku merasa kamulah udara lama yang lama-kelamaan habis sehingga harus
kusimpan baik-baik, agar tidak cepat habis.
Jarak yang memisahkan
kita? Oke?
No comments :
Post a Comment