Sebenarnya ini hanya ide yang melintas, aku juga belum dapat cerita selanjutnya. tapi, aku akan mencoba untuk meneruskan cerita awal ini. belum ada judul, but I think i'm gonna make it. I trust myself.
Semuanya berawal pada saat itu.
Aku
sudah berkata bahwa aku tidak sengaja, dan aku bersungguh-sungguh dengan
kata-kataku itu. Bahwa aku sanggup bersumpah aku tidak bermaksud berkata
demikian. Tapi dia tidak pernah sekali pun percaya padaku. dia yang membunuh
dirinya sendiri. Menusuk dirinya dengan kebenaran yang dia abaikan sendiri. Aku
bukan yang membunuhnya.
Aku
berkeliling, melihat satu persatu pelayat yang datang ke pemakaman. Semua
menatapku tidak percaya. Berani-beraninya sang pembunuh datang ke pemakaman
korban, mungkin begitu pikiran mereka. Mata mereka terus menatapku sengit,
seakan-akan aku ini adalah sampah masyarakat yang pantas dihilangkan.
Namun,
aku menatap satu pandangan yang daritadi kucari-cari. Pandangan yang tak
kunjung kutemukan karena seharian menunduk terus, menangis, memejamkan mata
sedih. Aku tak sanggup menarik pandangannya untuk menatapku. Sekedar melihat
diriku, dia tidak sanggup. Atau aku yang tak sanggup menatap matanya yang basah
itu.
Tapi,
sekarang dia menatapku. Tidak ada penghakiman dalam tatapannya, seperti yang
seharian ini aku temukan dimata para pelayat. Namun, ada satu yang menggangguku
dari tatapannya. Rasanya seperti melihat danau yang hitam tak terbayang, sepi,
tak ada nyawa. Tatapan ini membuatku gelisah.
Sebenarnya apa yang telah
aku perbuat padanya. sebegitukah dalamnya rasa sedih ketika Hwan-nya mati. Apa aku
yang menyebabkan mata yang selalu menatap tidak suka padaku itu kini menatapku
tanpa nyawa. Seakan-akan ketika Hwan pergi, nyawanya pun juga ikut pergi.
Apa yang telah aku
perbuat padanya? pada Hwan? Aku tidak bisa lagi menatap wajah itu. aku segera
memalingkna wajah dan menatap Maria, gadis blasteran teman sekelasku yang
menemaniku melayat Hwan. Dia tak balas menatapku. Maria menatap lurus pada
wajah gadis yang seakan-akan sudah kehilangan nyawanya itu.
“Hwan,” celetuk Maria,
“dia kekasih Hwan?” gumam Maria lirih. Entah untukku atau untuk siapa. Tapi,
tak urung aku menjawabnya juga.
“Aku rasa dia
mencintai Hwan,” jawabku. Hwan tidak pernah berkata kalau dia punya pacar, aku
hanya menyimpulkan dari apa yang aku lihat, gadis itu selalu menegurku kalau
aku ada dirumah Hwan dan merongrongnya untuk pergi menggelandang bersamaku.
“Aku pernah
melihatnya, lebih tepat fotonya,” kali ini Maria menatapku. “Hwan menyimpan
fotonya di dompetnya.”
Aku dan Maria cukup
mengenal Hwan. Hwan bukan orang yang suka menyimpan foto orang tanpa berarti
apa-apa. Kalau wajah gadis itu memang ada didompetnya Hwan, berarti gadis itu juga
berarti untuk Hwan.
Tiba-tiba beribu rasa
bersalah menerjangku. Seharusnya aku bawa, atau lebih tepatnya aku seret Hwan
dari lapangan itu. dunia gangster memang bukan dunia Hwan sejak lama. Tapi aku
yang menarik Hwan untuk ikut denganku, membantuku agar aku bisa masuk geng
sekolah Seungri.
Tapi, disisi lain aku
juga merasa tidak bersalah. Hwan pergi tanpa memberitahuku terlebih dahulu. Dan
dengan kemauannya sendiri. Padahal aku sudah bilang kepadanya bahwa ketua geng
itu tidak akan pergi tanpa anak buahnya, sudah pasti itu hanya omong kosong ketika
dia menyuruh Hwan untuk datang melawan dia, one on one.
Dan itu memang omong
kosong. Ketika aku sudah berdiri tepat didepannya. Hanya jalan yang membatasi
kami. Hwan terhuyung berjalan kepadaku. Aku tahu sekilas dia memanggil namaku
smabil tersenyum.
Dan yang terakhir,
juga bukan salahku kalau beberapa detik kemudian ada truk minyak yang
menabraknya.
Kalau mengingat
tentang itu rasanya aku ingin muntah dan menangis. Tapi, aku tidak bisa
menangis didepan mata-mata yang menghakimiku. Pikir mereka bahwa aku tak punya
alasan sedikitpun untuk meneteskan air mata.
Padahal alasan untuk
menangis bisa melebihi jumlah jari manusia. Tapi yang paling menonjol adalah,
apakah aku tidak boleh menangis saat teman, sahabatku mati didepan mataku
sendiri? Bahwa aku bisa saja menyelamatkan nyawanya dengan berlari mendorongnya
lagi ke pinggir jalan tempat dimana dia terakhir tersenyum dan menyebut namaku.
Aku seperti orang cacat, saat melihat daranya bercecer dijalan. Satu-satunya
yang aku pikirkan saat itu hanya menelfon Maria.
Dan aku beruntung
Maria cukup tenang dan membantuku memberi tahu keluarga Hwan. Termasuk gadis
itu. Yang aku tidak tahu namanya. Atau aku pernah mendengar Hwan menyebut gadis
ini, mungkin aku lupa. Kalau memang gadis ini berarti untuk Hwan, paling tidak
Hwan akan pernah menyebutnya sekali.
Tatapanku beralih ke
gadis itu, yang sekarang sedang mencoba berdiri, tapi seketika itu terjatuh. Aku
bisa melihat raut wajahnya. Kesal, sedih, marah, dia mendelik pada foto Hwan
yang ada di altar, dan menggumam. Tapi, akhirnya dia tetap duduk, tatapan
wajahnya saat memandang wajah Hwan berubah. Tangisnya tak bersuara, tapi aku
lihat air matanya yang terus menerus mengalir.
Kalau saja Hwan masih
hidup, dia pasti senang kalau ada orang yang menangisinya sampai demikian. Ya,
kalau saja Hwan masih hidup dan berlagak menjadi kakakku.
Lalu tiba-tiba
terdengar keributan diluar ruang pelayatan. Seperti orang sedang menerobos
masuk. Menyuruh para pelayat yang ingin beranjak pulang, minggir untuk memberi
jalan padanya. aku menebak-nebak siapa gerangan orang itu. mungkin salah satu
yang mencintai Hwan.
Aku tersenyum sinis,
banyak sekali yang mencintai Hwan.
“Hwan-a, Hwan-a,
Hwan-a,” seorang laki-laki yang sangat mirip Hwan masuk dengan wajah pias. Memanggil-manggil
nama Hwan dengan putus asa. Saat dia benar-benar bisa menatap foto Hwan di
altar, dan beralih kepada ibunya yang bersimpuh di depan altar Hwan. Kakinya melemas,
dan dia terjatuh.
Saat itu ibu Hwan
menoleh, air matanya yang sudah surut tiba-tiba menggenang lagi. Ibu Hwan
menangis meraung kembali, seperti saat melihat mayat Hwan. Kali ini sembari
memukul-mukul lengan anak sulungnya.
“Kenapa kau baru
datang sekarang? Kenapa baru sekarang? Kau akan tahu bagaimana kecewanya adikmu
kalau tahu kau mementingkan pekerjaanmu disaat-saat seperti ini,” ratap ibu
Hwan. “Kau seharusnya yang paling tahu adikmu. Kenapa adikmu bisa jadi seperti ini.
kau yang seharusnya paling tahu. Kau Hyung-nya. Dasar anak nakal.”
Air mata perlahan
turun dipipi kakak Hwan. Aku ingat Hwan pernah bercerita tentang kakaknya yang
seorang peneliti laut. Yang pulang hanya ketika Hwan menyuruhnya pulang. Yang selalu
berkata kepada Hwan bahwa yang paling benar didunia ini adalah selalu melawan
ketakutannya sendiri.
Melihat begitu
miripnya Hwan dengan kakaknya membuatku miris. Seperti melihat duplikat Hwan,
namun dengan kulit terbakar matahari.
Selama sesaat hanya terdengar
tangisan ibu Hwan dan diam dari kakak Hwan, namun keheningan itu pecah saat
gadis tadi bangkit, bisa bangkit juga dia. Aku bahkan tidak memperthatikannya
tadi, bagaimana reaksinya. Tapi aku melihat perubahan tatapan mata, yang
tadinya berisi kepedihan, kini mengeras membentuk sesuatu yang lain. Amarah,
mungkin.
“Oppa, kau harus
berganti pakaian, kau yang akan mengantar Hwan menuju rumah abu,” kata gadis
itu. sejenak aku tertegun mendengar suara tegas gadis itu. gadis yang dari tadi
menunduk sedih, menangis, meratap. Kini suaranya setajam pisau. Membuatku meringis.
Sebegitu menderitanya dia karena kepergian Hwan.
“Soo-jung-a, siapa
yang membuat Hwan menjadi seperti ini?” kata kakak Hwan sambil menerawang.
“Kau boleh tanya
kepadanya,” gadis itu menunjukku. “Dia yang lebih tahu.”
Kali ini tatapan gadis
itu beranjak ke wajahku, begitu juga kakak Hwan.
“Kau.” Kakak Hwan
menggeram saat dia melepaskan tangan ibunya dan berderap menuju tempat duduk
bersama Maria.
Dengan sigap dan tanpa
tedeng aling-aling, dia mencengkram kerah kemejaku. Menatapku sengit penuh
amarah. Maria memegangi tanganku, tapi tak sanggup melepaskan cengkraman kakak
Hwan.
“Kau, kau yang
meangajak Hwan ikut geng, kau yang membuat Hwan menjadi seperti ini,” ujarnya. “Kembalikan
Hwan. Kembalikan.”
Aku sedikit bingung
ketika mendengar ucapan kakak Hwan, sedari tadi aku hanya mendapat tatapan
kesal dan amarah tapi belum kata-kata. Ibu Hwan pun tak berbicara padaku hari
ini, hanya pamannya.
Jadi aku hanya bisa
diam, menahan rasa sedihku. Aku ingin sekali berkata bahwa aku bukan penyebab
kematian Hwan. Aku berusaha mencegahnya tapi dia tidak menggubrisku. Tapi, aku
tidak menemukan kebenaran dalam kata-kataku. Aku sadar bahwa aku yang mengajak
Hwan untuk ikut bersamaku. Menjadi keren dengan masuk geng.
“Seung joon
benar-benar bukan penyebab kematian Hwan,” kata Maria, dia memegang tangan
kakak Hwan yang mencengkeram kerah bajuku. Dia mewakili apa yang ingin aku
katakan.
“Aku tidak peduli. Dialah
yang menyebabkan Hwan mati. Aku tahu itu dia. Hwan selalu berkata bahwa
seharusnya Hwan menjauhi anak ini, tapi Hwan berkata dia tidak bisa. Dialah yang
membuat Hwan menjadi seperti ini,” kata kakak Hwan keras.
Aku merasa semakin
lama kata-kata kakak Hwan ini seperti perkataan anak kecil yang meminta selalu
dibenarkan dalam segala hal. Dan dalam kata-katanya tidak ada sama sekali yang
bisa untuk dibenarkan.
Tapi sebelum aku
angkat bicara, suara keras, dingin, dan setajam pisau terdengar. Gadis itu
berbicara sambil matanya melotot, “Bukan dia yang menyebabkan Hwan mati. Oppa
yang selalu mengajari Hwan untuk tidak jadi pengecut. Oppa yang selalu mengjari
Hwan untuk membunuh ketakutannya sendiri. Oppa yang mengajari Hwan untuk
menjadi laki-laki. Oppa yang manjadikan Hwan pemberani dan bukan pengecut. Tapi
Hwan mudah dibohongi. Oppa lupa mengajari Hwan untuk hati-hati dan waspada,
Oppa belum mengajari bagaimana mengetahu mana yang berbohong mana yang jujur. Oppa
lupa. Oppa selalu lupa. Padahal Hwan hanya punya Oppa.”
Perkataan gadis itu
mengendurkan cengkraman tangan Kakak Hwan dikerah kemajaku. Kakak Hwan menatap
gadis bernama Soo Jung itu dengan tidak percaya.
Kini aku bisa melihat
langsung, wajah gadis itu, kerut amarah memang terlihat disana. Sangat kentara.
“Oppa yang membunuhnya. Hwan mati karena Oppa, “ dia berkata lirih.
Tapi tiba-tiba wajah
itu mengerut sedih, terlipat-lipat sedih. Kepedihan didalamnya tak
tertangguhkan lagi, “Oppa seharusnya mengajarinya untuk mengalah, mengajarinya
untuk takut padahal yang masuk akal. Oppa seharusnya mengajarinya banyak lagi.
OPPAAAA!!!” gadis itu berteriak, memukul-mukul lengan kakak Hwan. Suaranya yang
mengoyak hati, terdengar pedih sekali. Aku bahkan tidak tahan untuk
mendengarnya lagi. Ibu Hwan kembali
menangis meraung-raung.
Kini, dengan tangan
Maria yang mencengkram lenganku, mengajakku untuk pergi. Maria juga tidak tahan
dengan segala isak tangis ini. aku sadar banyak sekali orang yang mencintai
Hwan. Gadis ini, menangis seperti belahan jiwanya pergi, seakan-akan kalau Hwan
tidak ada, dia tidak, bisa hidup lagi. Suatu bentuk cinta baru yang sekarang
baru aku ketahui.
Ibu Hwan yang
meraung-raung. Menyadari anak bungsunya pergi tepat saat beliau akan berusia
setengah abad. Suatu bentuk cinta yang aku juga baru sadari, ada didunia ini.
Dan kakak Hwan, yang
hampir setengah gila mendengar adiknya meniggalkannya duluan. Suatu bentuk
perlindungan yang bahkan tak sempat aku pikirkan.
Singkatnya Hwan
memiliki apapun didunia ini yang aku tidak miliki. Banyak cinta yang dimiliki
Hwan yang aku tidak sanggup miliki, membayangkan pun aku tidak berani. Kalau
aku jadi Hwan, aku tidak akan menyia-nyiakan kehidupanku ini. kalau aku
memiliki semua itu, aku pasti setiap pagi akan bangun dengan semangat, menyapa
ibu yang sedang membuat sarapan didapur, mengetik sms untuk Hyung-ku, dan
menjemput Soo Jung untuk berangkat bersama. Barangkali besoknya aku akan
meminta Soo Jung untuk jadi pacarku.
Semua milik Hwan ini
tersia-siakan. Semua milik Hwan yang ingin aku miliki.
No comments :
Post a Comment